I. Kualitas Pembelajaran (Mutu)
A. Pengertian Mutu
Mutu adalah sebuah proses terstruktur untuk memperbaiki keluaran yang dihasilkan. Fokous mutudidasari upaya positif yang dilakukan individu. Dalam sekolah mutu, standar mutu ditetapkan untuk setiap rangkaian kerja di dalam keseluruhan proses kerja. Bila pekerja mencapai standar mutu untuk masing-masing rangkaian kerja, hasil akhirnya adalah sebuah produk bermutu.
Saat membicarakan perbaikan mutu pendidikan, seringkali yang dibicarakan adalah perbaikan peringkat kenaikan kelas atau nilai rapor. Dalam sekolah yang bertipe seperti itu, tanggung jawab perbaikan mutu pendidikan lebih banyak ada pada guru. Secara umum para guru terfokus hanya pada aspek pendidikan seorang siswa: membantu siswa belajar dan mendapatkan pengetahuan. Bila mutu dimulai sebagai proyek terislasi di sekolah atau ruang kelas, dan hal tersebut hamper mempengaruhi keseluruhan mutu pendidikan.
Misalnya, guru secara aktif telah mutu dikelasnya sejak tujuh tahun silam. Dia bersifat instrumental dalam membentu guru lain mengembangkan pemahaman mutu. Namun, mutu di sekolah bergantung pada mutu guru di kelas. Banyak rekan-rekan gurunya yang enggan menerima tantangan mutu. Tipe impementasi mutu seperti ini disebut mutu dengan m-kecil.
Sebaliknya mutu sekolah dengan M-besar membuat setiap orang bertanggung jawab pada mutu. Orang diperlengkapi dengan alat yang dibutuhnkannya untuk mengubah cara kerjanya untuk memperbaiki mutu keluaran mereka. Orang bertanggung jawab mengurangi pemborosan dan inefisiensi. Sebagai hasil dari upaya itu, mereka menciptakan pembelajaran dan linkungan kerja yang baik.
(Jerome S. Arcaro, 1995: 75-77)
Pendidikan bermutu adalah pendidikan yang mampu melakukan proses pematangan kualitas peserta didik yang dikembangkan dengan cara membebaskan peserta didik dar ketidaktahuan, ketidakmampuan, ketidakberdayaan, ketidakbenaran, ketidakjujuran, dan dari buruknya akhlak dan keimanan.
Pendidikan bermutu lahir dari system perencanaan yang baik (good planning system) dengan materi dan system tata kelola yang baik (good governance system) dan disampaikan oleh guru yang baik (good teachers) dengan komponen pendidikan yang bermutu, khususnya guru.
Mutu pendidikan menurut Permendiknas nomor 63 tahun 2009 adalah tingkat kecerdasan kehidupan bangsa yang dapat diraih dari penerapan Sistem Pendidikan Nasional.
(Dedy Mulyasana, 2011: 120)
B. Hakekat Peningkatan Mutu sekolah
Peningkatan mutu pendidikan yang berpusat pada peningkatan mutu sekolah merupakan suatu proses yang dinamis, berjangka panjang yang mesti dilakukan secara sistematis lagi konsisten untuk diarahkan untuk menuju suatu tujuan tertentu.
Peningkatan mutu sekolah tidak bersifat instan, dengan mengandalkan “aji Bandung Bondowoso”, tahap demi tahap, yang terukur dengan arah yang jelas dan pasti. Dalam peningkatan mutu sekolah tidak dikenal sesuatu yang gampang segampang teori, seperti yang disitir leh Kurt Lewin “there is nothing to practical as good as theory”. Pendapat ini berarti pula, bahwa tidak mungkin ada peningkatan mutu sekolah tanpa disadari oleh suatu teori (Levin: 2008). Peningkatan mutu sekolah memerlukan teori, namun implementasinya tidak akan bisa mulus dan semudah teori yang ada. Sebab peningkatan mutu bersifat dinamis yang amat terkait dengan berbagai factor atau variable yang tidak semua dapat dikendalikan oleh sekolah.
Peningkatan mutu sekolah dapat disebut sebagai suatu perpaduan antara knowledge-skill, art, dan enterpreunership. Suatu perpaduan yang diperlukan untuk memebangun keseimbangan antara berbagai tekanan, tuntutan, keinginan, gagasan, pendekatan dan praktek. Perpaduan tersebut di atas berujung pada bagaimana proses pembelajaran dilaksanakan sehingga terwujud proses pembelajaran yang berkualitas. Semua upaya peningkatan mutu sekolah harus melewati variable ini. Proses pembelajaran merupakan factor yang langsung menentukan kualitas sekolah.
Peningkatan mutu atau kualitas pembelajaran merupakan inti dari reformasi pendidikan di Negara manapun. Hal ini disebabkan oleh asumsi bahwa, peningkatan mutu sekolah yang memiliki peran penting dalam peningkatan mutu pendidikan nasional, tergantung pada kualias pembelajaran. Namun, peningkatan kualitas pembelajaran sangat bersifat kontekstual, sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial dan kultural sekolah dan lingkungannya. Berbagai penelitian menunjukan bagaimana pentingnya kondisi dan lingkungan sekolah mempengaruhi kualitas pembelajaran, seperti dalam penelitian tentang sekolah efektif (Purkey & Smith: 1983), kerja guru dan pembelajaran (McLaughlin Talbert: 1993), restrukturisasi sekolah dan kinerja organisasi (Darling Hammond: 1996), yang semuanya ini bermuara pada suatu pernyataan apabila ingin meningkatkan kualitas pembelajaran, kualtas sekolah sebagai suatu kesatuan di mana pembelajaran berlangsung harus ditingkatkan.
(Zamroni, 2011: 134-138)
C. Model Peningkatan Mutu
Dalam kaitannya dengan peningkatan mutu, pengalaman menunjukan terdapat berbagai model yang dilaksanakan mencakup berbagai kebijakan dalam upaya meningkatkan mutu. Model-model tersebut yaitu:
1. Model UNESCO
UNESCO memiliki resep bahwa untuk meningkatkan kualitas sekolah diperlukan berbagai kebijakan, yang mencakup antara lain (UNESCO, 2001):
a) Sekolah harus siap dan terbuka dengan mengembangkan a reactive mindset, menanggalkan “problem solving” yang menekankan pada orientasi masa lalu, berubah menuju ”change anticipating” yang berorientasi pada “how can we do things differently”.
b) Pilar kualitas sekolah adalah learning how to learn, learning to do, learning to be, dan learning to live together.
c) Menetapkan standar pendidikan dengan indicator yang jelas.
d) Memperbaiki kurikulum sehingga relevan dengan kebutuhan masyarakat dan peserta didik.
e) Meningkatkan pemanfaatan ICT dalam pembelajaran dan pengelolaan sekolah.
f) Menekankan pada pengembangan sistem peningkatan kemampuan profesonal guru.
g) Mengembangkan kultur sekolah yang kondusif pada peningkatan mutu.
h) Meningkatkan partisipasi orang tua masyarakat dan kolaborasi sekolah dan pihak-pihak lain.
i) Melaksanakan quality assurance.
2. Model Bank Dunia
Dibidang pendidikan kebijakan Bank Dunia senantiasa bertumpu pada the Production Function Approach, Prndekatan Fungsi Produksi. Pendekatan ini mendeskripsikan bahwa mutu pendidikan merupakan hasil dari proses yang merupakan fungsi dari input, baik raw input maupun instrumental input. Karena proses merupakan kotak Pandora, the black box yang tidak teridentifikasi, maka pendekatan fungsi produksi di dunia pendidikan menjadi output yang merupakan fungsi dari input. Berdasarkan fungsi ini dapat dijelaskan bahwa output secara langsung dan linier ditentukan oleh input. Oleh karena itu, upaya peningkatan mutu harus dilakukan dengan peningkatan kualitas input.
Input pendidikan dapat diidentifikasikan secara jelas. Yakni, kurikulum, guru dan tenaga kependidikan yang lain, pergedungan dan ruang kelas, laboratorium, dan buku. Peningkatan mutu sekolah merupakan upaya dan kegiatan untuk meningkatkan berbagai input tersebut, termasuk raw input, yakni peserta didik.
Variable pertama dan utama yang menurut Bank Dunia adalah kualitas pembelajaran. Oleh karena itu peningkatan kualitas guru sebagai instrumental input merupakan suatu keharusan, termasuk keberadaan pendidikan dan pelatihan guru yang relevan dan memadai.
Peningkatan kualitas pembelajaran disamping ditentukan oleh kualitas guru juga ditentukan oleh keberadaan teknologi informasi dan komunikasi modern dalam pembelajaran. Oleh karena itu, teknologi informasi dan komunikasi sebagai fasilitas pembelajaran harus dipersiapkan. Peserta didik sebagai input juga perlu dipersiapkan dengan baik. Untuk itu, anak-anak sejak dini harus mendapatkan pendidikan taman kanak-kanak. Dengan mendapatkan pendidikan TK inilah anak-anak dipersiapkan dengan baik untuk masuk ke jenjang sekolah dasar. Disamping itu, kurikulum baik dalam arti isi maupun delivery and instructional system serta evaluasi perlu dipersiapkan, bahkan perlu distandardisasi.
Oleh karena itu bagi Bank Dunia reformasi kurikulum amat diperlukan dalam peningkatan mutu sekolah. Bank Dunia juga menekankan reformasi manajemen pendidikan sebagai salah satu upaya dalam peningkatan kualitas sekolah, termasuk diantaranya perlu peningkatan kualitas kepemimpinan kepala sekolah.
3. Model Orde Baru
Pengkatan mutu pendidikan di era Orde baru cenderung secara penuh melaksanakan kebijakan Bank Dunia. Barangkali tidak semua kita masih ingat bagaimana, Bank Dunia pada tahun-tahun akhir 1970-an dan awal tahun 1980-an memberikan resep untuk meningkatkan efektivitas pendidikan guru dengan merombak kurikulum IKIP yang semula mirip kurikulum universitas menjadi khas IKIP, dimana kurikulum baru ini terlalu berlebih-lebihan menekankan pembelajaran dan mengurangi secara besar-besaran materi bidang studi.
Dalam upaya peningkatan mutu sekolah di era Orde Baru juga menekankan ketersediaan fasilitas, seperti pergedungan dan ruang kelas, laboratorium, dan buku teks disamping pembaruan kurikulum.
Sebagaimana sistem politik yang ada pada era ini, maka manajemen pendidikan dilaksanakan secara sentralis. Semua kebijakan sampai detil ditentukan oleh pusat. Sekolah sebagai lembaga yang langsung melaksanakan proses pembelajaran tidak memiliki kewenagan yang memadai. Kebijakan ini memiliki implikasi perencanaan dan upaya peningkatan mutu bersifat top-down. Akibatnya, peningkatan mutu tidak ada di sekolah-sekolah, dan hanya ada di pusat.
4. Model Reformasi
Demokratisasi menjadi salah satu kata kunci dalam peningkatan mutu di era reformasi. Inti dari demokratisasi di dunia pendidikan adalah mengembalikan hak-hak, wewenang dan tanggung jawab pendidikan ke tangan guru (pendidik) sebagai pengelola utama proses pendidikan. Catatan penting dalam proses peningkatan mutu ini adalah bahwa: a) keberadaan Undang-undang Desentralisasi banyak mempengaruhi kebijakan dalam peningkatan mutu sekolah ini, baik dalam arti positif maupun negatife; dan b) pendekatan fungsi produksi ditinggalkan, diganti dengan pendekatan “no size fits for all policy”.
Kebijakan pertama dalam peningkatan mutu sekolah dalam era reformasi adalah menetapkan Metode Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), yang kemudian akan menjadi School Based Management (SBM) atau Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ala Indonesia. Kebijakan ini kemudian melahirkan sistem bantuan dukungan pemerintah dalam bentuk block grant, yang mulai pertama kali diberikan kepada tujuh sekolah SMA, pada tahun 2000.
Kebijakan berikutnya adalah mengembangkan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang kemudian berkembang KTSP. Sesungguhnya substansi KTSP sudah muncul dalam KBK hanya belum diberi nama. Dalam KBK yang merumuskan rencana pembelajaran dan bagaimana proses pembelajaran akan dilakukan serta evaluasi dilaksanakan ditentukan oleh sekolah sendiri. Lewat KBK, beban materi dikurangi sekitar 30 persen dan ternyata mengurangi beban materi lebih sulit daripada menambah. Meski sudah dikurangi tetap saja di mata para pengamat pendidikan internasional kurikulum KBK masih terlalu syarat beban. Tujuan dari KBK adalah untuk memberikan wewenang lebih besar para guru dalam melaksanakan proses pembelajaran. Para guru memiliki ruang yang luas untuk berimprovisasi dalam proses pembelajaran. Namun realitas beban kurikulum masih berat, sampai saat ini tujuan tersebut belum sepenuhnya dapat direalisasikan.
Kebijakan ketiga, yang amat terkait dengan dua kebijakan pertama adalah deklarasi dari Mendiknas bahwa tidak ada lagi perbedaan sekolah negeri dan sekolah swasta, kecuali menyangkut gaji pokok. Mulai saat itu, masa Yahya Muhaimin sebagai Mendiknas, bagi pemerintah sekolah negeri dan sekolah swasta sama. Departemen pendidikan direstrukturisasi untuk mendukung kebijakan ini. Bantuan pemerintah yang selama ini banyak tertuju ke sekolah negeri, mulai terkikis dan bantuan justru banyak terarah ke sekolah swasta.
Pada masa ini juga dikembangkan kebijakan untuk meningkatkan pembelajaran bahasa asing dan computer baik untuk peserta didik maupun untuk dipergunakan dalam proses pembelajaran bagi guru. Dalam rangkaian peningkatan mutu sekolah ini salah satu kompetansi yang harus dicapai adalah lulusan SMA harus mampu berkomunikasi dengan salah satu bahasa asing. Disamping computer dan bahasa asing, ditekankan pula pembelajaran sastra Indonesia.
Kebijakan yang amat penting dalam peningkatan mutu sekolah adalah meningkatkan manajemen sekolah dan mengembangkan kultur sekolah. Peningkatan manajemen sekolah dilakukan dengan mempersiapkan secara seksama proses rekruitmen calon peserta sekolah, pelatihan calon kepala sekolah dan seleksi calon kepala sekolah. Setelah dapat ditentukan calon kepala sekolah maka dilaksanakan pelatihan kepala sekolah. Pelatihan dan kriteria seleksi calon kepala sekolah dan kepala sekolah dipersiapkan terstandar. Dalam kaitan dengan manajemen ini dikembangkan pula pelatihan dan teknik pengembangan kultur sekolah. Karena berbagai penelitian menunjukan bahwa kultur sekolah menentukan kualitas kerja guru, kualitas kegiatan peserta didik dan kualitas lulusan.
Kebijakan kelima dalam peningkatan mutu adalah menciptakan pembelajaran yang menyenangkan, mengasyikan dan mencerdaskan. Umtuk itu, disamping sudah dikembangkan KBK dan MBS sebagai pondasinya, maka syarat yang lain harus dipersiapkan adalah peningkatan kualitas guru dan sekaligus kesejahteraanya. Pada masa Malik Fadjar sebagai Mendiknas, gagasan pengembangan guru professional mulai dikaji secara serius, yang kemudian menjadi embrio dan masukan untuk menghasilkan Undang-undang Guru.
Kebijakan keenam ini berkaitan dengan mendorong motivasi peserta didik untuk belajar mandiri tidak harus tergantung pada guru dan tidak sebatas apa yang ada pada kurikulum. Kebijakan ini diwujudkan dengan mengembangkan dan memperluas olimpiade ilmu pengetahuan dan debat bahasa asing sampai ke daerah-daerah. Dengan pelaksanaan olimpiade ilmu sampai ke daerah-daerah inilah diharapkan dinamika, semangat belajar dan berkompetensi yang sehat dikalangan peserta didik akan meningkat.
Kebijakan lain di masa Malik Fadjar adalah mulai melaksanakan Ujian Akhir Nasional (UAN) tanpa dihubungkan dengan ujian sekolah. Kebijakan ini memang controversial. Bahkan sampai dtik ini para pedagog pun terbelah dua, pro dan kontra. Tetapi dari perspektif peningkatan mutu tidak pernah akan berhasil selama tidak ada gairah, semangat, motivasi dan kerja keras dari semuanya, khususnya guru dan peserta didik. Semangat, gairah, motivasi, dan kerja keras tidak pernah akan muncul selama tidak ada evaluasi yang bisa memisahkan antara peserta didik yang telah menguasai materi dan peserta didik yang belum menguasai.
(Zamroni, 2011: 138-146)
D. Sekolah Bermutu Terpadu
Bila diterapkan secara tepat, manajemen nutu terpadu (MMT) merupakan metodologi yang dapat membantu para professional pendidikan menjawab tantangan lingkungan masa kini. MMT dapat dipergunakan untuk mengurangi rasa takut dan meningkatkan kepercayaan di lingkungan sekolah. MMT dapat digunakan sebagai perangkat untuk membangun aliansi antara pendidikan, bisnis dan pemerintahan. Aliansi pendidikan memastikan bahwa para professional sekolah atau wilayah memberikan sumber daya yang dibutuhkan untuk mengembangkan program-program pendidikan. MMT dapat memberikan fokus pada pendidikan dan masyarakat. MMT membetuk infrastruktur yang fleksibel yang dapat memberikan respons yang cepat terhadap perubahan tuntutan masyarakat. MMT dapat membantu pendidikan menyesuaikan diri dengan keterbatasan dana dan waktu. MMT memudahkan sekolah mengelola perubahan.
Transformasi menuju sekolah bermutu terpadu diawali dengan mengadopsi dedikasi bersama terhadap mutu oleh dewan sekolah, administrator, staf, siswa, guru dan komunitas. Prosesnya diawali dengan mengembangkan visi dan misi mutu untuk wilayah dan setiap sekolah serta departemen dalam wilayah tersebut. Visi mutu difokuskan pada pemenuhan kebutuhan kostumer, mendorong keterlibatan total komunitas dalam program, mengembangkan sistem pengukuran nilai tambah pendidikan, menunjang sistem yang diperlukan staf dan siswa untuk mengelola perubahan, serta perbaikan berkelanjutan dengan selalu berupaya keras membuat produk pendidikan menjadi lebih baik.
(…………………….)
DAFTAR PUSTAKA
Arcaro, Jerome S. 2005. Pendidikan Berbasis Mutu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mulyasana, Dedy. 2011. Pendidikan Bermutu dan Berdaya Saing. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Zamroni. 2011. Dinamika Peningkatan Mutu. Yogyakarta: Gavin Kalam Utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar