I. Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)
A. Pengertian IPS
Ilmu Pengetahuan Sosial yang disingkat IPS dan Pendidikan Ilmu Sosial yang seringkali disingkat Pendidikan IPS atau PIPS merupakan dua istilah yang sering diucapkan atau dituliskan dalam berbagai karya akademik secara tumpang tindih (overlaping). Kekeliruan ucapan ataupun tulisan tidak dapat sepenuhnya kesalahan pengucap atau penulis melainkan disebabkan oleh kurangnya sosialisasi sehingga menimbulkan perbedaan persepsi. Faktor lain dimungkinkan karena kurangnya forum akademik yang membahas dan memasyarakatkan istilah atau nomenlatur hasil kesepakatan komunitas akedemik.
Istilah IPS di Indonesia mulai dikenal sejak tahun 1970-an sebagai hasil kesepakatan komunitas akademik secara formal mulai digunakan dalam system pendidikan nasional dalam kurikulum 1975. Dalam dkumen kurikulum tersebut IPS merupakan salah satu nama mata pelajaran yang diberikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Mata pelajaran IPS merupakan sebuah nama mata pelajaran integrasi dari mata pelajaran Sejarah, Geografi, dan Ekonomi serta mata pelajaran ilmu sosial lainnya. Nama IPS ini sejajar dengan nama mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam yang disingkat IPA sebagai integrasi dari nama mata pelajaran Biologi, Kimia, Fisika. Menurut Soemantri, penggunaan istilah IPS dan IPA dimaksudkan untuk membedakannya dengan nama-nama disiplin ilmu di universitas.
(Sapriya, 2009: 7)
Istilah studi sosial muncul sebagai sebutan konseptual bagi pendidikan ilmu-ilmu sosial, merupakan terjemahan dari istilah Social Studies yang telah lama digunakan di Amerika untuk mata pelajaran ini dalam kurikulum di sekolah. Di Indonesia diperkrnalkan istilah ini pada tahun 1971 pada Seminar Nasional Civics Education di Tawangmangu Solo (Panitia Seminar Civics Education), didasari hasil survey pelajaran ilmu-ilmu social pada tahun 1969, kemudian disusul oleh muncul naskah yang berjudul Tantangan Dalam Pengajaran Ilmu Sosial ditulis oleh Hartson dan Nu’man Soemantri (1970).
Beberapa istilah asing yang digunakan bagi pendidikan IPS antara lain Civics, Civics Education (Gross and Zenely; 1958, Allen; 1960, Best; 1960). Social Studies, Social Sciences dan Social Education sering digunakan secara bergantian, “Social Sciences” sebagai organisasi dari “bodies of knowledge” mengenai hubungan antar manusia (Wesleyn 1962). Marsh dan Print (1975) menggunakan “Social Studies” untuk kelompok mata pelajaran social dalam kurikulum sekolah. Sedangkan istilah “Social Studies” didefinisikan sebagai porsi dari ilmu sosial untuk pendidikan “a portion of social science” (Estvan; 1968). Bart, Bart Shermis (1978) menggunakan dan mengartikan istilah “Social Studies” sebagai integrasi dari ilmu-ilmu sosial dan humanistis untuk kepentingan pendidikan kewargaan Negara (citizenship Education). Sedangkan Dufty (1970) menggunakan dan mengartikannya sebagai program pendidikan dalam rangka sosialisasi “the process of learning to live with other people”. Dapat disimpulkan bahwa adanya beberapa istilah dan pengertian yang dikemukakan oleh para pakar didasarkan atas persepsi dan dasar konseptual dari tradisi dan model dari setiap pengembangan kurikulum pada negaranya masing-masing. John Jarolimek (1964: 64), The Social Studies as a part of the elementary school curriculum draw subject matter content from The Social Sciences, history, philosophy, anthropology, and economics. The social studies have been definited as those portion of the social sciences. Scunche (1988).
Menekankan bahwa program pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial harus mampu memberikan pengalaman-pengalaman belajar yang berorientasi pada aktivitas belajar peserta didik. Pelibatan peserta didik secara penuh dalam serangkaian aktivitas dan pengalaman belajar mampu memberikan kesempatan yang luas pada peserta didik untuk terlibat dalam proses memecahan masalah dalam lingkungan belajar yang dibuat sebagaimana realitas yang sesungguhnya. Di Negara kita dijumpai pula beberapa istilah seperti civics dalam kurikulum 1962 dan Pendidikan Kewarganegaraan dalam kurikulum 1968 sebagai nama bagi rumpun mata pelajaran Sejarah, Geografi, dan Ekonomi. Dalam kurikulum 1975, ada bidang studi ilmu pengetahuan sosial (IPS) yang digunakan untuk kelompok mata pelajaran ilmu-ilmu sosial di SMP. IIS sebagai nama di bidang studi merupakan program “interdisipliner” dari ilmu-ilmu sosial pada kelas satu semester satu di SMA. Kemudian istialh program studi ilmu-ilmu sosial dijumpai dalam kurikulum 1984 digunakan sebagai nama bagi kelompok mata pelajaran ilmu-ilmu sosial seperti Tata Negara, Sejarah, Geografi, Ekonomi, Sosiologi, Antropologi di SMA, digunakan pula sebagai nama untuk mata pelajaran yang sama dalam kurikulum SMA (Soemantri; 1987). Sebutan IPS digunakan untuk menunjuk pada mata pelajaran ilmu sosial (Adikusumo; 1989), digunakan pula sebagai sebutan bagi salah satu fakultas pada IKIP dan salah satu jurusan pada Universitas. Tampak istilah IPS lebih populer, walaupun sebetulnya dalam kurikulum 1984 tidak dijumpai istilah tersebut, yang ada adalah “Ilmu-Ilmu Sosial”.
Selain beberapa istilah di atas, dikenal pula sebutan “studi sosial” (Achmad Sanusi; 1971) untuk pengajaran ilmu pengetahuan sosial di semua jenjang pendidikan. Istilah ini digunakan sebagai salah satu mata kuliah di ITB (1979) yang merupakan integrasi dari berbagai konsep-konsep ilmu sosial yang diorganisir dalam bentuk generalisasi. Tujuan yang ingin dicapai adalah memberikan wawasan sosial bagi para mahasiswa dalam aplikasi teknologi sesuai dengan profesinya. Mirip seperti program tersebut di tingkat Universitas disebut mata kuliah “Ilmu Sosial Dasar” (ISD) yang dibina dan dikembangkan oleh konsorsium Antar Bidang Depdikbud sebagai salah satu mata kuliah MKDU dengan tujuan mengembangkan kepribadian dan wawasan pemikiran khusus berkenaan dengan orang lain agar daya tanggap, persepsi dan penalaran lingkungan sosial dapat dipertajam. ISD dapat diartikan pengetahuan yang menelaah masalah-masalah sosial, khususnya masalah-masalah yang diwujudkan oleh masyarakat Indonesia dengan menggunakan pengertian-pengertian (fakta, konsep, teori) yang berasal dari berbagai bidang pengetahuan keahlian dalam lapangan ilmu-ilmu sosial (Konsorsium Antar Bidang; 1982). Dari uraian di atas, tampak beberapa istilah dan pengertian tentang pendidikan IPS yang tumbuh dan berkembang. Meskipun demikian, dasar konseptual tetap diperlukan bagi kepentingan pengembangannya.
Mengenai pengertian ini , HISPIPSI sekarang HISPISI dalam pertemuan tahunannya telah mencoba merumuskannya dengan tetap mentolerir munculnya beberapa definisi. Rumusan yang diajukan ialah “Pendidikan IPS adalah penyederhanaan dari disiplin ilmu-ilmu sosial yang diorganisir, disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk mencapai tujuan pendidikan”. (Dokumen HIPIPSI; 1990, sekarang HISPISI)
(Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP UPI, 2007: 272-274)
B. Landasan Pendidikan IPS
PIPS sebagai mata pelajaran dan pendidikan disiplin ilmu seyogyanya memiliki landasan dalam pengembangannya, baik sebagai mata pelajaran maupun pendidikan disiplin ilmu. Landasai ini diharapkan dapat memberikan pemikiran-pemikiran mendasar tentang pengembangan struktur, metodologi, dan pemanfaatan PIPS sebagai pendidikan disiplin ilmu. Bagaimana dan mengapa struktur disiplin ilmu tersebut dibangun dan dikembangkan serta ke mana arah, tujuan, dan sasaran pengembangan dilakuakan oleh masyarakat ilmuahnya. Landasan-landasan PIPS sebagai pendidikan disiplin ilmu meliputi: landasan filosofis, ideologis, sosiologis, antropologis, kemanusiaan, politis, psikologis, dan religious.
Landasan filosofis, memberikan gagasan pemikiran mendasar yang digunakan untuk menentukan apa objek kajian atau domain apa saja yang menjadi kajian pokok dan dimensi pengembangan PIPS sebagai pendidikan disiplin ilmu (aspek ontologis), bagaimana cara, proses, atau metode membangun dan mengembangkan PIPS hingga menentukan pengetahuan mana yang dianggap benar, sah, valid, atau terpercaya (aspek epistemologis), apa tujuan PIPS sebagai pendidikan disiplin ilmu ini dibangun dan dikembangkan serta digunakan atau apakah manfaat dari PIPS ini (aspek aksiologis). Keberadaan landasan-landasan ini telah dan akan memperkokoh body of knowledge PIPS untuk eksis dan berkembang lebih luas lagi. Selama ini dikenal ada empat filsafat pendidikan yang meliputi perennialism, essentialism, progressivism, dan reconstructionism (Brameld, 1955; O’Neil, 2001).
Landasan ideologis, dimaksudkan sebagai system gagasan mendasar untuk member pertimbangan dan menjawab pertanyaan: (1) bagaimana keterkaitan antara das sein PIPS sebagai pendidikan disiplin ilmu dan das sollen PIPS; dan (2) bagaimana keterkaitan antara teori-teori pendidikan dengan hakekat dan praksis etika, moral, politik dan norma-norma perilaku dalam membengun dan mengembangkan PIPS. Menurut O’Neil (2001), ideology sebagai landasan ini telah dan akan memberikan system gagasan yang bersifat ideologis terhadap PIPS yang tidak cukup diatasi hanya oleh filsafat yang bersifat umum.
Landasan sosiologis, memberikan system gagasan mendasar untuk menentuukan cita-cita, kebutuhan, kepentingan, kekuatan, aspirasi, serta pola kehidupan masa depan melalui interaksi sosial yang akan membangun teori-teori atau prinsip-prinsio PIPS sebagai pendidikan disiplin ilmu. Landasain ini akan dan telah memberikan dasar-dasar sosiologis terhadap pranata dan institusi pendidikan dalam proses perubahan sosial yang konstruktif. (Dewey, 1964; (Kuhn, 2001)).
Landasan antropologis, memberikan system gagasn-gagasan mendasar dalam menentukan pola, sistem dan struktur pendidikan disiplin ilmu sehingga relevan dengan pola, system dan struktur kebudayaan bahkan dengan pola, system dan struktur perilaku manusia yang kompleks. Landasan ini telah dan akan memberikan dasar-dasar sosio-kultur masyarakat terhadap struktur PIPS sebagai pendidikan disiplin ilmu dalam proses perubahan sosial yang konstruktif. (Pai, 1990).
Landasan kemanusiaan, memberikan sistem gagasan-gagasan mendasar untuk menentukan karakteristik ideal manusia sebagai sasaran proses pendidikan. Landasan ini sangat penting karena pada dasarnya proses pendidikan adalah proses memanusiakan manusia.
Landasan politis, memberikan system gagasan-gagasan mendasar untuk menentukan arah dan garis kebijakan dalam politik pendidikan dari PIPS. Peran dan keterlibatan pihak pemerintah dalam landasan ini sangat besar sehingga pendidikan tidak mungkin steril dari campur tangan unsure birokrasi. (Foster, 1985; Freire, 2002).
Landasan psikologis, memberikan system gagasan-gagasan mendasar untuk menentukan cara-cara PIPS membangun struktur tubuh disiplin pengetahuannya, baik dalam tataran personal maupun komunal berdasarkan entitas-entitas psikologisnya. Hal ini sejalan dengan hakikat dari struktur yang dapat dipelajari, dialami, dideversivikasi, diklasifikasi oleh anggota komunitas PIPS berdasarkan kapasitas psikologis dan pengalamannya.
Landasan religious, memberikan system gagasan-gagasan mendasar tentang nilai-nilai, norma, etika dan moral yang menjadi jiwa (roh) yang melandasi keseluruhan bangunan PIPS, khususnya pendidikan di Indonesia. Landasan ini telah berlaku sejak jaman Plato hingga Kant yang kemudian diakomodasi oleh Brameld (1956) melalui karya-karyanya, khusunya dalam filsafat rekonstruksionisme. Landasan religious ini telah dan akan menolak segala sesuatu yang bersifat relative (faham relativis), irrasional, dan paham yang mengagungkan rasional semata yang tidak menempatka agama sebagai landasan berpikir (intraceptive knowledge) atau kelompok manusia yang merasa menjadi pemenang dalam mengembangkan peradaban manusia, intellectus quarens fidem (soemantri, 2011). Landasan religious diterapkan di Indonesia menghendaki adanya keseimbangan antara pengembangan materi yang bersumber dari intaceptive knowledge dan extraceptive knowledge.
(Sapriya, 2009: 17)
C. Kajian yang dipelajari dalam IPS
1. Sosioligi mempelajari segala hal yang berhubungan dengan aspek hubungan sosial yang meliputi proses, faktor, perkembangan, permasalahan dan lain-lain,
2. Ilmu ekonomi mempelajari proses, perkembangan dan permasalahan yang berhubungan dengan ekonomi,
3. Segala aspek psikologi yang berhubungan dengan sosial dipelajari dalam ilmu psikologi sosial,
4. Aspek budaya perkembangan dan permasalahannya dipelajari dalam antropologi,
5. Aspek sejarah yang tak dapt dipisahkan dalam kehidupan kita dipelajari dalam sejarah,
6. Aspek geografi yang member ruang terhadap kehidupan manusia dipelajari dalam geografi,
7. Aspek politik yang menjadi landasan keutuhan dan kesejahteraan masyarakat dipelajari dalam ilmu politik.
(Lif Khoiru Ahmadi dan Sofan Amri, 2011: 8-9)
D. Model Pembelajaran IPS
Model dalam bahasan ini diartikan sebagai kerangka konseptual yang dikembangkan dan digunakan sebagai pedoman sistematik dalam melaksanakan dan mengembangkan pendidikan IPS sesuai dengan tujuan dan kepentingannya. Ada sejuamlah model yang dikembangkan misalnya Gross dkk (1978) mengemukakan lima model: (a) the disciplinary model, (b) the multydicplinary model, (c) citizenship education (the problem inquiry model), dan (e) the humanistic model/personal model. Sedangkan Bart Bart and Shermish (1978) mengemukakan tiga model yaitu: (a) social studies as social sciences, (b) social studies as citizenship education, dan (c) social studies as reflective inquiry.
Dihubungkan dengan kepentingan mempersiapkan guru dalam pendidikan IPS, Smith (1970), dan Nu’man Soemantri (1987: 25) mengemukakan tiga aliran yang mempengaruhu tradisi dan model pendidikan IPS, aliran para ilmuan sosial dan ahli pendidikan.
Dihibungkan dengan arah pengembangan instrukisional dikenal pula model pendidikan IPS yang menekankan pada pengembangan kemampuan berpikir ilmiah seperti layaknya ilmuan sosial dan model yang mengembangkan aspek-aspek nilai yang berkaitan dengan atribut warga Negara yang baik. Kajian ini melihat antara pengembangan berpikir dan nilai dua dimensi yang secara simultan diintegrasikan guna meningkatkan kualitas proses dan hasil pendidikan.
Di Indonesia terdapat beberapa model, misalnya pendidikan IPS yang menggunakan model pendekatan “integrated” dikembangkan pada tingkat SD, sedangkan “correlated” dikembangkan pada tingkat SMP, dan “separated” terpisah sebagai mata pelajaran ilmu-ilmu sosial sekarang ini dikembangkan di tingkat SMA.
Dilihat dari aspek pendekatan dalam kaitannya dengan tradisi pendidikan guru IPS, tampak yang besar pengaruhnya dalam pengembangan kurikulim adalah model yang menekankan pada pendidikan IPS sebagai mata pelajaran ilmu sosial yang disajikan secara terpisah namun tetap ada kterkaitan satu sama lainnya. Akan tetapi kelemahan dari model ini tidak dikaitkan dengan pengembangan nilai, Charles Killer (1987) adalah salah seorang tokoh yang berpendapat bahwa pendidikan IPS dengan menggunakan pendekatan tersebut tidak perlu dikaitkan dengan pengembangan nilai, sebab nilai akan tumbuh sebagai dampak sampingan dari pemahaman konsep-konsep ilmu sosial.
(Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP UPI, 2007: 274-275)
E. Tujuan Pembelajaran Pendidikan IPS
Tujuan pendidikan IPS secara teoritik tidak hanya terdapat dalam kurikulum secara eksplisit, namun tumbuh dalam berbagai konsepsi pemikiran yang dikembangkan para pakar. Beberpa definisi yang coba diangkat, selalu memuat konsep tentang tujuannya. Tradisi dimana pendidikan IPS ini dikembangkan mewarnai rumusan tujuan, sehingga tampak rumusan ini sangat kontekstual dengan sosial budaya pendidikan sebagai latarnya. Tujuan ini nperlu dianalisis untuk member kejelasan arah pengembangan. Kajian ini mencoba mengungkapkan tujuan yang dipandang tepat bagi pendidikan IPS di Indonesia. Secara filiosofis maka perumusan dasar konseptual dan tujuan itu mesti didasarkan atas falsafah Pancasila, yang merupakan falsafah bangsa dan Negara. Dengan demikian falsafah pendidikan tidak bisa lain dari “Falsafah pendidikan Paancasila.
Para ahli sering merumuskan tujuan pendidikan IPS dengan mengaitkannya dengan mempersiapkan para pelajar menjadi warga Negara yang baik. Ini merupakan pengaruh dari model pendidikan IPS sebagai “citizenship education”. Gross (1978: 8) menyebutkan tujuan IPS untuk “to prepare the student to be well-functioning citizens in democratic cociety”. Konsekuensinya pelajar harus dilibatkan dalam lingkungan kehidupan sekolah dan masyarakatnya.
Tujuan lain yang mencerminkan pendekatan rasionalitas dalam pendidikan IPS antara lain mengembangkan kemampuan menggunakan penalaran dan pengambilan keputusan setiap persoalan yang dihadapinya. “we also think that the social studies should be more concered with helping student make the most rational decisions that they can in their own personal lives” (Gross, 1978). Di Indonesia secara umum terdapat dua tujuan dilihat dari kepentingan peserta didik yang keduanya tampak dalam kurikulum SMA, yaitu member bekal bagi peserta didik untuk melanjutkan studi ke tingkat yang lebih tinggi dan membekali wawasan sosial budaya untuk mempertajam pemikiran dan apresiasi nilai dan menjalani kehidupan di masyarakat. Dari dua dimensi inilah hendaknya tujuan pendidikan IPS dikembangkan sebagai bagian dari tujuan pendidika nasional.
(Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP UPI, 2007: 275-276)
Secara umum mata pelajaran IPS bertujuan agar anak didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
1. Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya,
2. Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial,
3. Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan,
4. Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, ditingkat local, nasional dan global.
(Lif Khoiru Ahmadi dan Sofan Amri, 2011: 10)
F. Sarana Pembelajaran Pendidikan IPS
Media dan alat bantu pelajaran untuk strategi pembelajaran IPS baru terbatas pada media dan alat cetak seperti buku, gambar, peta. Media yang banyak digunakan untuk keduanya adalah buku paket ditambah dengan buku anjuran yang mendapatkan rekomendasi dari pihak yang berwenang.
Buku pegangan siswa sebagai salah satu sumber ternyata banyak di pasaran. Buku paket khususnya IPS, dirasakan cepat ketinggaloan jaman, terutama materi yang menyangkut aspek perubahan dalam masyarakat, misalnya pada konsep ekonomi dan politik. Keluhan yang muncul dikalangan orang tua dan peserta didik di perkotaan adalah seringnya berganti-ganti buku. Padahal dilihat dari konsep intinya, tidak banyak perbedaan dengan yang dimuat dalam buku paket. Kondidi ini merupakan dampak negative dari banyaknya pegangan siswa yang beredar di lapangan. Namun dilain pihak cukup menggembirakan, bila dilihat dari sudut partisipasi masyarakat swasta dalam dunia pendidikan. Karena sudah menyangkut aspek bisnis, maka ada kecenderungan aspek bisnis yang lebih menonjol dari aspek akademiknya.
Alat pelajaran untuk strategi pembelajaran IPS pada strategi pembelajaran IPS masih terbatas dan sangat tertinggal oleh pelajaran IPA. Dari observasi di beberapa sekolah, terdapat beberapa peribahasa yang memuat pesan nilai dan moral, dan beberapa peta serta gambar pahlawan. Studi ininmengungkapkan bahwa kreativitas guru masih kurang untuk membuat alat pelajaran. Di perkotaan, tampak alat pelajaran dibuat dari bahan yang telah jadi, namun belum melibatkan peserta didik dalam pengadaannya. Ada beberapa guru yang menjadikan alat peraga dari hasil kliping yang ditugaskan kepada peserta didik. Peta merupakan jenis alat bantu mengajar yang paling banyak digunakan dalam strategi pembelajaran IPS.
(Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP UPI, 2007: 292-293)
G. Sistem Penilaian dalam Pembelajaran IPS
Sistem penilaian pada pembelajaran IPS di sekolah dasar banyak dilakukan untuk mengukur hasil belajar, sedangkan proses belajar masih terabaikan. Penelitian mengungkapkan bahwa strategi pembelajaran IPS nilai prakteknya sangat kurang, hanya terbatas pada pembuatan tugas-tugas dan pekerjaan rumah. Diakui bahwa ranah yang banyak dievaluasi, terbatas pada aspek kognitif level 1 dan 2, lebih banyak menyangkut hapalan dan mengulang apa yang telah diberikan, bahannya bersumber dari buku. Penekanan lebih banyak pada hasil belajar daripada proses. Hal ini diakui karena pengaruh dari evaluasi yang dikaitkan secara regional dan nasional, lebih banyak mengukur daya serap kurikulum dengan mengabaikan proses pedidikannya.
Ada gabungan jenis evaluasi yang digunakan antara objektif tes dan essay dalam bentuk yang populer, dengan istilah Bentuk Ujian Objektif (BUO) dan Bentuk Ujian Non Objektif (BUNO). Kesan evaluasi sebagai “ulangan” dirasakan di kalangan peserta didik, sehingga belajar diidentikan dengan “ menghapal”. Buku pandudn soal-soal telah banyak beredar di pasaran, baik kumpulan EBTA maupun EBTANAS, para guru dalam mengkonstruksi soal objektif mengambil dari bahan-bahan yang telah jadi dengan melakukan perubahan alakadarnya. Studi ini mengungkapkan, bahwa peserta didik lebih banyak mempelajari dalam arti menghapal dari berbagai naskah tes. Diakui oleh para guru pada umumnya, membuat soal objektif memerluka waktu dan untuk lebih berkualitas ternyata tidak semua guru memilki kemampuan.
(Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP UPI, 2007: 294)
H. Arah Pengembangan Mutu Pembelajaran IPS
Strategi pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dalam meningkatkan mutu pendidikan, khususnya dalam meningkatkan “kualitas belajar”, dapat dirumuskan beberapa masalah secara umum, baik permasalahan maupun alternative pemecahannya, kea rah memperkuat kualitas pembelajaran peserta didik yang akhirnya dapat diperkuat strategi pembelajaran IPS.
Pengembangan program dari materi pada pembelajaran IPS, lebih banyak memuat aspek pengetahuan, dan belum secara terintegrasi mengembangkan bahan-bahan secara langsung dan actual dari masyarakat, sehingga mareti strategi pembelajaran yang disajikan tidak diperkaya dengan improvisasi muatan local, sehingga kurang dirasakan kontekstual dengan perubahan sosial budaya (Suwarma; 2000) pandangan itu dan sikap guru sebagai pengembang kurikulum ternyata mereka pada umumnya memperlakukan kurikulum sebagai target utama dan harga mati, menempatkan guru lebih berperan sebagai pelaksana kurikulum daripada pengembang kurikulum. Peran ini semakin kuat terhadap orientasi pencapaian nilai ujian nasional, memberikan dampak terhadap pengembangan materi bagi strategi pembelajaran IPS. Kesenjangan dalam proses strategi pembelajaran yang terjadi dalam strategi pembelajaran IPS, terletak pada peningkatan kualitas kemampuan belajar peserta didik, proses hapalan lebih kuat daripada pengembangan berpikir dan nilai. Ternyata hal ini diperkuat pula, dengan orientasi pada evaluasi yang lebih menekannkan aspek pengetahuan. Proses strategi pembelajaran menjadi lemah dan tidak banyak memberikan pengalaman bagi peserta didik, untuk dapat mengaktualkan hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari.
Pemaknaan terhadap peserta didik ternyata masih lemah, yang berdampak guru lebih banyak berperan aktif dari pada peserta didik. Fsktor budaya ternyata merupakan faktor penghambat yang cukup kuat dalam melaksanakan pendekatan belajar siswa aktif, untuk dikembangkan dalam strategi pembelajaran IPS pada strategi pembelajaran IPS.
Proses strategi pembelajaran direkayasa untuk mencapai tujuan, yang berakibat pengalaman belajar peserta didik kurang mendapat penekanan. Hal ini semakin kuat dengan tumbuhnya pandangan, bahwa proses strategi pembelajaran identik dengan proses pencapaian target kurikulum. Strategi pembelajaran IPS ternyata dapat memperlemah pengalaman belajar siswa, sehingga mereka mendapatkan kesulitan untuk mengaktualisasikan hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.
Proses belajar dikaitkan dengan produktivitas belajar, yang ternyata dalam pembelajaran IPS, masih terdapat kesenjangan yang cukup berarti, terutama disebabkan oleh guru yang belum memiliki peluang dan keberanian untuk mengoptimalkan kemampuannya memperankan murid lebih aktif dalam belajar. Di pihak lain, adanya aspek budaya yang memungkinkan peserta didik sulit untuk meningkatkan aktivitas belajarnya. Dalam proses pembelajaran IPS ditemukan kelemahan yang sangat menonjol, antara lain tidak banyak menyentuh pengembangan kemampuan berpikir, proses belajar terpola pada interaksi monoton satu arah, dominasi guru sangat kuat. Hal ini dimungkinkan, karena materi selain lebih banyak hapalan, juga kering dari nilai yang disebabkan tidak dimasukannya bahan dari lingkungan masyarakat secara terintegrasi dalam program pendidikan.
Sarana pembelajaran IPS belum difungsionalkan untuk memberikan kemudahan dan pemantapan pengalaman belajar siswa. Hal ini antara lain disebabkan oleh munculnya pandanga yang menganggap kurang diperlukan alat bantu mengajar, selain dari buku dalam strategi pembelajaran tersebut. Kondisi ini diperkuat dengan orientasi yang lebih menekankan pada tujuan daripada proses belajar.
Analisis hasil belajar dikaitkan dengan tuntutan masyarakat, yang dapat disimpulkan dalam meningkatkan mutu strategi pembelajaran IPS, hendaknya lebih menekankan pada indikator kemampuan belajar peserta didik daripada orientasi pemenuhan pasar lapangan kerja, mengimgat sebagai bagian utama dari strategi pembelajaran IPS lebih berfungsi dalam memberikan pemetaan dan keadilan dalam pendidikan.
(Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP UPI, 2007: 294-296)
DAFTAR PUSTAKA
Sapriya. 2009. Pendidikan IPS. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan UPI. 2007. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung: PT.
IMTIMA.
Ahmadi, Lif Khoiru dan Sofan Amri. 2011. Mengembangkan Pembelajaran IPS Terpadu.
Jakarta: PT. Prestasi Pustaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar